Senin, 10 Desember 2012

Si Cantik Bagai Seekor Burung


Di sekolah itu ada siswi baru. Dia baru saja pindah dari sekolah di luar pulau. Tubuhnya tinggi, seperti model. Kulitnya kuning langsat, halus, berseri-seri. Kecantikannya dan keindahan tubuhnya cepat sekali menjadi buah bibir.
Selepas pelajaran, siang itu Radiet berlari ke kantin sekolah. Dia mau menemui Angga, siswa paling jangkung disana. Terengah-engah Radiet, si tampan bertubuh gembul itu tidak tahan lama bila berlari. Sebagi kutu buku dia tergolong anak paling malas berolahraga. Kebiasaan nya berolah otak.
“Sudah ketemu?” bisik Radiet di telinga kanan Angga. Anak kelas XII IPA itu masih terengah-engah. Padahal belum sampai lima menit dia berlari dari pintu kelas ke kantin.
“Ketemu siapa?” balasnya, “pertanyaan kamu nggak berujung nggak berpangkal, mbull!” protes Angga. Dia lagy asyik makan batagor yang terlalu pedas, mulutnya jadi kepedasan.
“Wah ketinggalan kamu!” ujar Radiet.
“Ketinggalan kereta api, atau … ?” Angga masih belum mengerti a pertanyaan Radiet. Ia tambah terkejut ketika teman – teman nya ketawa ngakak sampai keluar air mata.
“Seminggu ini sekolah kita heboh. Siswi baru bernama puteri bagai dewi. Mata para cowok menatapnya tidak berkedip. Cewek-cewek sekolah kita berdecak kagum, kamu kemana aja, hemmm??”
“Wah, aku mudik ke kampung, ijin seminggu. Ibuku sakit keras.”
“Kangen sama kamu, kali?”
“Ya juga. Tapi, mana gadis yang bikin heboh kamu? Kenalkan, dong!”
“Bukan bikin heboh aku, Angga, tapi bikin heboh cowok-cowok sekolah kita.”
“Ya, mana dia?” Angga memandang luar kantin.
Radiet memutar badan. Ia mengarahkan pandangan ke pintu perpustakaan. Beberapa siswi keluar dari sana seperti laron meninggalkan lubang persembunyian di musin hujan.
“Itu! Itu si cantik!” Angga berkata sambil menunjuk siswi paling jangkung. Gadis itu mengenakan seragam sekolah. Dan sweater.
“Si cantik?” Tanya Angga heran, “namanya Puteri, atau si Cantik, emmm?”
Radiet menjelaskan banyak cowok di sekolah menjuluki Puteri dengan si cantik. Julukan itu makin popular, bukan hanya di kelas XII IPA, tapi juga di kelas – kelas yang lain.
Puteri mengangguk kepada para siswa yang memperhatikanya. Setumpuk buku tebal tersusun di pangkuan tangan kirinya.
“Jangan pada lupa acara malam minggu di ruang serba guna, Put!” seorang siswa mengingatkan gadis itu. Siswa itu mendekat dan memberikan daftar acara yang dimaksudkannya pada Puteri.
“Acara apa?” Radiet menyongsong Ivan, siswa ceking, yang merupakan seksi acara malam puisi untuk ibu pertiwi se sekolah.
“Ini buat kamu,” kata ivan, dia memberikan selembar daftar acara unutk Radiet.
“Untuk Angga mana, Van?” teriak Angga.
“Nih! Dari tadi kamu acuh tak acuh aja,” gerutu ivan.
Radiet menyenggol lengan kiri Angga sambil menunjuk Puteri. Temannya tidak bereaksi. Agak minder juga ia tidak bertindak.
“Halo, Puteri!” sapa Radiet.
“Hai, halo juga, Radiet?” balas Puteri.
“Kenalkan, ini Angga,” Radiet menunjuk Angga.
“Baru kelihatan, anak pindahan juga, ya?”
Angga mengulurkan tangannya. Keduanya mengucapkan nama masing-masing. Lalu Angga mengatakan dia baru pulang mudik. Puteri mengangguk-anggukkan kepalanya yang dihiasi rambut ikal yang lebat, hitam dan harum.
“Mudik kemana, Angga?” tanyanya.
“ Ke jawa timur.”
“Wah, banyak apel dong?”
“Lagi nggak musim,” tukas Angga.
“Puteri suka apel?” Angga bertanya sambil memandang mata Puteri yang besar dan kebiru-biruan.
“Hem, suka sekali. Apel malang, begini!” ia mengacungkan jari jempol kanannya.
***
Esoknya, Saat istirahat Angga memberikan bungkusan plastik pada Puteri.
“Apa ini?” Tanya Puteri heran. Matanya  menatap wajah tampan Angga.
“Saudara  bawa oleh-oleh. Aku mintakan untuk Puteri. Hanya beberapa buah apel, katanya suka apel malang?”
“O…. senang sekali. Terima kasih.”
“Kok, minta apel sama saudara. Kamu sendiri nggak bawa waktu mudik?”
“Maaf, aku nggak sempat bawa apa-apa. Lagi pula kampung ku agak jauh dari kota batu. Aku balik terburu-buru, khawatir tidak dapat tiket.”
Dari jauh Radiet memperhatikan Puteri dan Angga. Berdebar kencang denyut jantungnya. Si penyair itu merasakan hatinya tidak nyaman. Cemberukah itu namanya? Lalu Radiet melihat Angga mengajak Puteri ke kantin. Radiet mengikuti langkah keduanya. Di kantin, pasangan itu duduk berhadapan. Mereka memesan lontong sayur, opor ayam, dan air putih kemasan dalam gelas plastik.
Sebelum pesanan datang, Puteri menikmati apel pemberian Angga dengan lahap. Radiet ikut duduk, mengambil tempat di kiri Puteri.
“Boleh ikutan, nggak?” tanyanya.
“Boleh, dong!” jawab Puteri. Gadis jangkung dan seksi itu sedang menikmati potongan apel malang. “hmm… manis!” ucapnya tanpa sungkan.
Angga menawarkan Radiet sarapan, tapi si gembul itu sudah sarapan nasi goreng. Dia masih kenyang.
“Aku pesan jus jeruk saja, biar agak ramping sedikit,” guraunya.
“Janganlah,” cegah Angga. “kalau nggak gembul lagi, Radiet kehilangan cirri khas!” lanjutnya.
“Apel, cobain,” Puteri menawarkan pada Radiet.
“Buat kamu sajalah, kan Cuma sedikit.
Radiet tidak berminat mencicipi bawaan Angga. Saat itu ia merasa sejak kenal dengan Puteri, Angga seakan menciptakn jarak dengan dirinya. Tapi, apakah perasaan ini merupakan bagian dari cemburu? Radiet tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dia ingat jasanya untuk Angga. Kalau kiriman uang terlambat, Angga pinjam pada orang tua Radiet. Sebagai anak kos, Angga sering lapar. Mau jajan, uang lagi cekak. Radiet pula yang mengajaknya makan dirumahnya, atau dia traktir makan gado-gado.
Banyaklah jasa Radiet pada Angga, kalau mau hitung-hitungan. Eh, begitu kenalan dengan Puteri, si cantik yang terkenal sebagai model itu, Angga seolah lupa dirinya. Radiet merasa tersisih. Puteri pun begitu. Begitu kenal Angga, dia acuh pada dirinya. Nggak tahu diri amat! Radiet menggerutu.
Dulu waktu mereka baru kenalan, Puteri sering bawa beberapa majalah remaja yang memuat dirinya  sebagai cover story. Kini ia membawa majalah itu ke sekolah untuk memperlihatkan pada Angga.
“Hei, mikiran apa?” Angga mengejutkan Radiet dari lamunan.
“Eh, nggak mikirin apa-apa. Cuma inget seseorang.”
“Seseorang special Dit?” Tanya Puteri.
“Ya, tapi orang itu sudah tidak lagi menjadi bagian dari diriku,” suaranya menjadi melankolis.
“Kemana dia, Dit?” Tanya Angga, “selama ini kamu nggak pernah bilang tentang seseorang itu, siapa sih ?”
“Mantan pacar?” Puteri bertanya lagi sambil menghabiskan setengah buah apel.
“Mantan orang dekatku.”
“Orang dekatmu? Siapa orang ketiga yang memisahkanmu dengan orang dekat mu itu?” Angga bertanya.
“Nggak enak, ah! Lebih baik aku tidak mengatakan pada kalian. Tidak etis.”
Selesai makan lontong sayur, Angga mengajak Puteri naik mobilnya. Radiet merasa semakin tersisih. Keduanya hanya melambai padanya.
“Benar-benar tidak tahu diri!” maki Radiet.
Seingatnya waktu Puteri baru datang, dialah yang memperkenalkan pada teman-teman dekatnya. Ia pula yang mengantarkan Puteri belanja, kerumah saudaranya, menjemput bila akan sekolah, ataupun ada keperluan lain. Ia juga mengantarkan Puteri menyaksikan peragaan pakaian. Tak jarang Radiet keluar uang untuk mentraktir nya sehabis menyaksikan acara show, atau pertunjukan lain. Kini begitu kenal Angga, Puteri benar-benar ibarat kacang lupa pada kulitnya. Angga juga begitu. Satu lagi, Radiet tidak bisa lupa ketika Puteri minta dilatih membaca puisi. Berhari-hari dan bermalam-malam Raiet dirumah orang tua Puteri, sampai terkantuk-kantuk. Puteri tak mengijinkannya pulang sebelum ia puas dengan penjiwaan puisi yang akan dibacakannya.
Si gembul berdiri  di depan kantin sambil membawa kunci mobil bututnya. Dia melihat gumpalan awan di langit. Awan kelabu yang seakan menjanjikan hujan. Dia masuk ke mobil. Didepannya muncul Alia, gadis ceking yang baru meminjam buku dari perpustakaan. “lia!” panggilnya, “mau kemana? Jalannya nyelonong seperti badak!”
“Nunggu Puteri, ya?” tebak alia.
“Nggak nunggu siapa-siapa, nunggu kamulah!”
“Ah, yang benar?”
“Nyatanya? Aku masih disini sampai kamu keluar perpustakaaan.”
“Habis makan dikantin?”
“Minum jus jeruk. Lia mau mampir di kantin, hemm? Ayo!”
“Aku mau pulang. Sudah jam berapa sekarang?”
Radiet melihat jam tangan dan mengatakan sudah jam dua lewat lima belas menit. Radiet menawarkan Lia pulang, atau kemanapun Lia mau.
“Asal tidak minta diantar kesurga atau neraka.” Radiet bercanda.”
“Kenapa begitu?” Tanya alia.
“Nggak tahu jalan aku, ha ha ha …!” Radiet ketawa ngakak sambil memasukkan anak kunci mobil kelubangnya, mata nya berair.
Alia adalah teman akrabnya. Keduanya sudah lam bersahabat, sejak masih SMP. Semenjak Radiet kenal dengan Puteri ia jarang berdua dengan Alia.
“Kukira hari ini kau bersama Puteri,” kata alia setelah mobil berjalan ke luar gerbang sekolah.
“Puteri bersama Angga,” jawab Radiet datar, “aku yang mengenalkan, aku yang ditinggalkan.”
“kehilangan, ya?”
“Ah, sudahlah, Lia! Kita lupakan saja! Si Cantik bagai seekor burung, datang pada musim bunga bermekaran. Hinggap sekejap. Lalu terbang. Seketika dia lenyap dalam kabut gelap. Siapa terpesona, apakah siap unutk menangkap,” kata Radiet seperti membaca puisi.
“Itu puisi ciptaanmu, Dit?”
“Spontan saja, menurutmu bagus diteruskan untuk dijadikan puisi?”
“Mengapa tidak? Teruskanlah.”
“Tolong dicatat, Lia. Tolonglah.” Pintanya.
Alia mengeluarkan buku agenda dan pulpen untuk mencatat, kemudian ia simpan.
“Terima kasih, Lia,” kata Radiet.
***
Sejak Angga pergi dengan Puteri, persahabatannya dengan Radiet retak.
Sepanjang acara malam puisi ibu pertiwi Angga mendekati pada Puteri. Saat acara bubar, Radiet melihatnya menggandeng Puteri. Mereka melintasi Radiet tanpa menyapa, pura-pura tidak mengetahui sosok gembul Radiet didepan mereka. Radiet merasa terpukul, tapi ia menyadari bisa saja mereka memang tidak melihatnya karena pikiran  dan perasaan mereka terpusat pada objek pembicaraan.
Radiet memahami benar, Angga berwajah tampan, tubuhnya tinggi, dadanya bidang. Dia bersifat lembut kebapakan. Sikapnya wajar, tidak over acting. Siswi-siswi di sekolah, maupun di luar sekolah mengaguminya. Radiet tidak habis piker kenapa Angga berubah sejak berjumpa dengan Puteri. Kadang-kadang, Angga menunjukkan kelebihan fisiknya, sebagai anak lelaki yang baru saja meninggalkan masa kanak-kanak, sikap itu masih wajar.
Bagi Puteri, dekat dengan Radiet atau Angga, tidak ada bedanya, baginya semua teman se sekolah adalah sahabatnya. Tidak ada niat memberikan keistimewaan pada salah satu pihak. Mungkin kepandaiannya bergaul, kesupelannya, menyebabkan orang-orang yang dekat dengannya salah tafsir. Dia ke sekolah mencari ilmu, bukan untuk mencari jodoh. Ia sudah terkenal sebagai model, jauh sebelum dia masuk SMA. Puteri pun tidak merasa kalau Radiet mencemburui Angga.
Ketika dirasakannya Radiet semakin jauh, Puteri tersentak. Ia mengingatkan Angga, jangan sampai kedekatan nya dengan Angga mengurangi jumlah sahabat, termasuk Radiet. Tapi Radiet tidak merasa bersalah dan ketika Puteri mengatakan kalau ia tidak membeda-bedakan semua teman nya, termasuk Radiet, Angga, Alia, dan Ivan, Angga merasa tersinggung.
Angga mulai sadar, beberapa minggu dekat dengan Puteri, tidak ada pernyataan cinta sepotong pun. Sekiranya cinta itu bisa di potong-potong seperti kue bolu. Puteri benar. Angga menarik napas panjang, apakah benar dirinya salah tafsir?
Sepulang sekolah, Angga mengejar Radiet dan menanyakan apa salahnya sehingga Radiet menjauhi dirinya dan Puteri.
“Sudah, ah, aku ada perlu,” kata Radiet sambil masuk mobilnya dan tancap gas. Angga terpaku di tempat parkir. Untuk kedua kalinya ia tersentak. Kehadiran Puteri benar-benar telah meretakan persahabatan akrab antara dirinya dan Radiet. Seraut wajah cantik muncul dari arah sekolah. Angga menatapnya.
“Bagaimana?” Tanya gadis itu setelah dekat dengan Angga.
“Radiet menghindar dariku,”
“gak salah perkiraanku, kan?” kata Puteri, “terus  upayakan agar tali persahabatan kalian utuh kembali.”
“Tentu saja, Put. Ke mana kita sekarang?”
“Aku mau pulang.”
“Kuantar sampai rumahmu, atau kamu mau ke ………..?”
“Pulang, ah, aku mau tidur.”
“Tidur, sore-sore?”
“Memangnya dilarang? Obat ngantuk, kan hanya satu yakni bobo’ bukan?”
***
Sepanjang jalan Puteri bercerita tentang kakaknya. Kini kakaknya itu sedang menyelesaikan doctor bidang sastra inggris di Amsterdam, negeri belanda. Setelah dia pulang ke tanah air, giliran adiknya cari beasiswa.
“Siapa adiknya?” Tanya Angga.
“Adiknya, kan hanya satu, aku.”
“Ooo!” mulut Angga membentuk lingkaran bundar. Hahahaa….
“Belum tentu dapat. Persyaratannya berat untuk dapat beasiswa dari negera-negara eropa.”
“Jadi belum pasti?”
“Belumlah,”
“Berapa lama kalau dapat beasiswa?”
“Tiga tahun, paling sedikit.”
Begitu tiba dihalaman rumah Puteri, Angga memperlambat jalan mobil Ferarri. Dia membukakan pintu mobil sambil memandang wajah Puteri.
Puteri melamun sambil memandang mobil Ferarri merah yang semakin jauh. Setelah mobil itu hilang dari pandangan, Puteri beranjak menuju beranda rumah nya yang sunyi.
Tiga minggu kemudian beredar undangan makan malam dari rumah Puteri. Teman – teman se-sekolah senang mendapat undangan itu. Ada acara peragaan pakaian yang diselenggarakan teman-teman sesama model Puteri. Semua undangan di antar, termasuk undangan untuk Radiet dan Angga.
Begitu sampai dirumah Puteri, semua tamu dipersilahkan menikmati hidangan malam.
Didalam undangan tidak disebutkan dalam rangka apa undangan makan malam itu. Peragaan pakaian disebutkan sebagai acara selingan. Usai makan malam bersama, fida, si pembawa acara mengumumkan, Puteri, mewakili ahli rumah, akan menyampaikan sepatah kata.
“Bukan syukuran perkawinan emas orang tua Puteri, malam ini?” Tanya seorang ibu pada penerima tamu.
“Bukan, bu, perkawinan emas bapak tiga tahun lagi,” jawab Puteri.
Puteri muncul di panggung. Suaranya agak parau ketika mengucapkan salam pembukaan. Ada nada sendu. Puteri menyatakan pamit karena mendapat beasiswa di Jerman. Radiet dan Angga kaget.
“Sama siapa Puteri di berlin?” Tanya Angga pada Fida.
“Di sana, kan ada Muchlis. Sudah dua tahun bekerja disana,” jawab Fida.
“Siapa Muchlis itu?” bisik Angga.
“Tunangan Puteri. Sejak Muchlis meraih gelar doctor, mereka bertunangan.”
Angga berjalan kearah Radiet. Dia merangkul sahabatnya itu di depan Puteri. Puteri lalu meminta Radiet membacakan sebuah puisi. Radiet tidak menolak. Sambil menuju ia berfikir, puisi apa yang akan dibacakannya.
Setengah berlari, Alia Amenghampiri Radiet dan menyerahkan selembar kertas kepadanya.
“Aku masih menyimpan catatan ini,” kata Alia.
“Terima kasih Alia,” bisik Radiet.
Radiet mula-mula mengucapkan selamat jalan kepada Puteri, sukses mencapai cita-cita, dan selalu berbahagia di mana pun berada. Lalu Radiet membaca tulisan di selembar kertas yang baru diterima dari alia.
Dia, si cantik bagai seekor burung, datang pada musim bunga bermekaran. Hinggap sekejap. Lalu terbang. Seketika dia lenyap dalam kabut gelap. Siapa terpesona, apakah siap untuk mnangkap?” usai membaca puisi, Radiet mengangguk. Hadirin bertepuk tangan.
“Persahabatan Angga dan Radiet masih bersatu sampai sekarang, dan dia juga masih berteman sama Puteri”.  Setelah acara tersebut mereka kembali seperti sedia kala.
****